Kecamatan Susukan di Kabupaten Cirebon merupakan wilayah yang rentan terhadap berbagai bencana alam, terutama banjir dan angin puting beliung. Beberapa desa seperti Bojong Kulon, Bunder, dan Susukan sering terdampak banjir akibat luapan Sungai Wangan Ayam dan Ciwaringin . Selain itu, hujan lebat disertai angin kencang juga pernah merusak ratusan rumah di desa-desa tersebut .
Bencana banjir merupakan salah satu tantangan lingkungan yang masih terus menghantui berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon. Fenomena ini bukan hanya sekadar persoalan musiman, tetapi sudah menjadi isu struktural yang berkaitan erat dengan tata kelola lingkungan, pembangunan yang kurang terencana, serta kurangnya kesadaran kolektif dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Sebagai mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap pembangunan berkelanjutan dan perlindungan masyarakat, penting bagi kita untuk menyoroti urgensi mitigasi banjir dan menyusun strategi yang realistis serta adaptif.
Kecamatan Susukan merupakan wilayah yang memiliki karakteristik geografis datar, dikelilingi lahan pertanian, serta aliran sungai kecil yang menjadi bagian dari sistem perairan Kabupaten Cirebon. Namun, sayangnya, kondisi ini tidak didukung oleh infrastruktur drainase yang memadai. Akibatnya, saat musim hujan tiba, genangan air kerap meluas hingga ke permukiman warga dan lahan pertanian. Bahkan, beberapa desa seperti Desa Susukan Lor dan Desa Kecomberan kerap menjadi langganan banjir tahunan.
Urgensi mitigasi banjir di Susukan dapat dilihat dari dampaknya yang bersifat multidimensional. Dari sisi sosial, banjir memaksa masyarakat mengungsi, kehilangan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, serta menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Dari sisi ekonomi, kerugian yang ditimbulkan sangat besar, terutama karena mayoritas warga Susukan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Banjir bisa memusnahkan hasil panen, memicu kelangkaan bahan pangan, dan menyebabkan inflasi lokal. Sementara dari sisi lingkungan, banjir berpotensi merusak ekosistem setempat, mengganggu keseimbangan tanah, dan mempercepat degradasi lingkungan.
Langkah mitigasi banjir secara struktural sangat krusial untuk mengurangi dampak fisik yang ditimbulkan. Pemerintah daerah perlu mengadopsi pendekatan infrastruktur hijau dan adaptif. Salah satunya adalah dengan pembangunan kolam retensi yang berfungsi menampung limpasan air hujan sebelum mengalir ke permukiman. Selain itu, normalisasi sungai, pengerukan sedimen, serta revitalisasi saluran irigasi lama menjadi prioritas yang tidak boleh ditunda.
Pembangunan sistem drainase yang sesuai dengan tata ruang juga penting. Banyak permukiman baru di Susukan yang dibangun tanpa mempertimbangkan analisis risiko banjir, sehingga memperparah kondisi saat musim hujan. Oleh karena itu, audit tata ruang dan integrasi prinsip mitigasi bencana dalam perencanaan wilayah menjadi suatu keharusan.
Selain pendekatan teknis, strategi non-struktural seperti peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi banjir sangat dibutuhkan. Edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan, pemilahan sampah, penghijauan lahan kritis, serta pentingnya menjaga daerah resapan air harus terus digalakkan. Pemerintah desa dan tokoh masyarakat bisa menjadi agen perubahan dengan memberikan contoh nyata dan membangun budaya sadar risiko.
Partisipasi masyarakat juga bisa dimaksimalkan melalui pembentukan kelompok siaga bencana berbasis komunitas. Kelompok ini dapat berfungsi sebagai pelopor dalam memberikan informasi awal, membantu proses evakuasi, serta mendata kebutuhan saat terjadi bencana. Dengan adanya sistem peringatan dini dan jalur komunikasi yang efektif, dampak banjir dapat ditekan secara signifikan.
Sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki peran strategis dalam mendukung mitigasi banjir di Susukan. Kampus dapat menjadi laboratorium sosial dan lingkungan untuk menghasilkan riset-riset aplikatif, seperti pemetaan daerah rawan banjir, inovasi alat deteksi dini, atau rekayasa teknologi sederhana yang dapat digunakan masyarakat. Selain itu, pengabdian masyarakat dalam bentuk edukasi lingkungan dan pendampingan desa tangguh bencana bisa menjadi kontribusi konkret mahasiswa terhadap wilayah terdampak.
Banjir di Kecamatan Susukan bukanlah bencana yang datang secara tiba-tiba, melainkan akumulasi dari masalah struktural dan ekologis yang belum tertangani dengan baik. Oleh karena itu, mitigasi bukan hanya tentang membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membangun kesadaran, kapasitas, dan kolaborasi antar elemen masyarakat.
Dalam konteks ini, peran mahasiswa sangat vital sebagai jembatan pengetahuan dan agen perubahan sosial. Dengan pendekatan yang holistik, berkelanjutan, dan partisipatif, kita dapat bersama-sama mencegah banjir menjadi tragedi tahunan yang terus berulang.
Tidak hanya itu, mahasiswa juga dapat mendorong terjadinya perubahan kebijakan melalui advokasi berbasis data. Kolaborasi antara mahasiswa, LSM, pemerintah desa, dan masyarakat dapat melahirkan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis kebutuhan lapangan.