Program makanan gratis yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi salah satu kebijakan publik paling ambisius sekaligus kontroversial di Indonesia. Tujuan utama dari program ini adalah mengurangi angka malnutrisi, meningkatkan kesehatan anak-anak, serta memperkuat kualitas sumber daya manusia sejak usia dini.
Secara konseptual, kebijakan ini sejalan dengan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat dan memastikan pemerataan gizi di seluruh wilayah Indonesia. Gagasan ini pada dasarnya sangat relevan dengan kebutuhan bangsa yang tengah berjuang melawan masalah stunting dan ketimpangan akses gizi di berbagai daerah.
Namun, di balik tujuan yang mulia tersebut, pelaksanaan program ini menimbulkan sejumlah persoalan serius yang mengguncang kepercayaan publik. Dalam berbagai laporan media nasional dan internasional, ditemukan kasus keracunan massal yang terjadi di beberapa daerah setelah pelaksanaan program ini. Reuters pada 26 September 2025 melaporkan sekitar 9.000 anak mengalami gejala keracunan setelah menerima makanan dari paket program pemerintah.
Laporan lain dari Detik.com yang mengutip data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan menyebutkan jumlah anak terdampak mencapai lebih dari 10.482 jiwa. Sementara Tempo.co mencatat 1.309 orang di Bandung Barat juga mengalami kasus serupa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah program makanan gratis ini benar-benar menjadi solusi bagi kesejahteraan rakyat, atau hanya strategi politik untuk memperkuat citra pemerintahan baru?
Jika dilihat dari visi dan tujuannya, program ini sangat layak diapresiasi. Indonesia sebagai negara berkembang memang membutuhkan kebijakan fundamental untuk memperbaiki kualitas generasi muda. Akses terhadap gizi yang layak merupakan pondasi penting bagi pendidikan, produktivitas ekonomi, serta daya saing bangsa. Namun, idealisme semacam ini tidak akan berarti banyak tanpa kesiapan teknis dan birokrasi yang kuat.
Kasus keracunan massal yang terjadi di lapangan menjadi cermin lemahnya pengawasan, standar keamanan pangan yang tidak konsisten, serta distribusi makanan yang tidak sepenuhnya terkontrol. Sistem audit yang longgar membuat potensi penyimpangan semakin besar, dan pada akhirnya dapat menjadikan program ini beban sosial baru alih-alih solusi bagi masyarakat.
Dari perspektif politik, kebijakan sosial seperti program makanan gratis sering kali berkaitan dengan upaya membangun political legitimacy yakni kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, muncul risiko populisme, ketika kebijakan yang diambil lebih berorientasi pada pencitraan politik ketimbang efektivitas kebijakan itu sendiri.
Program ini memiliki daya tarik emosional yang besar karena menyentuh kebutuhan dasar rakyat: makanan. Namun, jika pelaksanaannya tidak disertai kesiapan manajemen, transparansi, dan tanggung jawab yang tinggi, kebijakan ini dapat berubah menjadi instrumen politik jangka pendek untuk mempertahankan dukungan publik.
Unsur strategi politik tampak jelas dari cara program ini dikomunikasikan kepada masyarakat. Pemerintah menampilkan program tersebut sebagai wujud kepedulian terhadap rakyat kecil, terutama anak-anak sekolah dan keluarga berpenghasilan rendah.
Narasi seperti ini sangat efektif secara politik karena menggugah simpati publik, terlebih di masa awal pemerintahan baru. Akan tetapi, jika hasil pelaksanaannya justru menimbulkan korban, maka efek politiknya bisa berbalik arah menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat akan menilai bahwa pemerintah lebih mementingkan pencitraan dibanding keselamatan dan kesejahteraan rakyat.
Apabila dikelola dengan baik, program makanan gratis dapat membawa dampak sosial dan politik yang positif. Anak-anak akan mendapatkan gizi yang cukup untuk tumbuh sehat dan cerdas, tingkat partisipasi sekolah bisa meningkat, serta kualitas hidup masyarakat secara umum dapat membaik.
Di sisi lain, pemerintah akan memperoleh legitimasi politik yang kuat karena kebijakannya dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat. Namun, jika gagal, dampaknya sangat serius: kepercayaan publik menurun, kredibilitas pemerintah tercoreng, dan kebijakan ini akan dikenang sebagai contoh kegagalan manajemen negara.
Program makanan gratis pada akhirnya menjadi simbol niat baik sekaligus ujian besar bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Di satu sisi, kebijakan ini bisa menjadi tonggak sejarah keberpihakan negara terhadap kesejahteraan rakyat kecil. Tetapi di sisi lain, tanpa sistem yang matang, pengawasan ketat, dan transparansi yang tinggi, kebijakan ini bisa berubah menjadi bumerang politik.
Jalan terbaik yang dapat ditempuh adalah melanjutkan program ini dengan manajemen yang profesional, sistem pengawasan yang terukur, serta melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi. Hanya dengan cara itu, program makanan gratis dapat benar-benar menjadi solusi nyata bagi rakyat, bukan sekadar strategi politik jangka pendek.
Oleh: Maulidah Farikha
Mahasiswa Semester 3
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon