Politik, pada dasarnya, adalah upaya untuk mencapai tatanan sosial yang lebih baik. Dalam konsepsi ideal, politik adalah seni untuk melayani publik, di mana kekuasaan adalah anugerah yang digunakan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Namun, begitu seseorang memasuki arena kekuasaan, ia akan segera berhadapan dengan realitas politik yang keras: sebuah medan yang penuh dengan tarik-ulur kepentingan, persaingan sengit, dan tuntutan untuk melakukan kompromi.
Tegangan antara ideal (cita-cita) dan realita (fakta di lapangan) inilah yang menjadi poros utama dinamika politik. Banyak politisi memulai karier mereka dengan idealisme yang membara, tetapi seiring waktu, realitas sistem politik yang pragmatis dan kompetitif sering kali menguji, bahkan menggerus, prinsip-prinsip tersebut.
Idealisme sebagai Kompas Politik
Idealisme dalam politik merujuk pada keyakinan teguh bahwa tindakan politik harus didasarkan pada nilai-nilai moral, etika, dan tujuan luhur (misalnya, anti-korupsi, penegakan HAM, atau kesejahteraan merata). Idealisme berfungsi sebagai kompas, memberikan arah yang jelas bagi para pemimpin dan partai politik, serta menjadi sumber legitimasi moral di mata publik.
Dalam konteks demokrasi, idealisme tercermin dalam janji-janji kampanye untuk mewujudkan sistem yang bersih, transparan, dan akuntabel. Ia adalah daya dorong yang melahirkan gerakan reformasi dan perubahan. Tanpa idealisme, politik hanyalah perebutan kekuasaan kosong tanpa makna substantif.
Realita Kekuasaan: Medan Pragmatisme
Sebaliknya, realita kekuasaan didorong oleh pragmatisme—pendekatan yang menekankan hasil dan efektivitas di atas prinsip. Untuk memenangkan pemilu, mengesahkan undang-undang, atau mempertahankan jabatan, seorang politisi sering kali harus membangun koalisi yang transaksional, bukan ideologis.
Realita ini mencakup:
- Kompromi Kepentingan: Bersekutu dengan pihak yang sebelumnya berseberangan demi mencapai mayoritas politik.
- Strategi Taktis: Mengambil langkah politik yang mungkin tidak populer atau bertentangan dengan idealisme awal, tetapi dianggap perlu demi keberlangsungan kekuasaan.
- Dilema Etika: Pilihan sulit antara mempertahankan integritas diri atau mengamankan posisi politik untuk mencapai tujuan jangka panjang.
Dalam banyak kasus, idealisme sering dianggap sebagai kemewahan yang sulit dipertahankan dalam politik praktis.
Kutipan Berita (Contoh Realitas Politik)
Berikut adalah kutipan yang mencerminkan tegangan antara idealisme dan realitas kekuasaan dalam konteks politik nasional:
“Pesan ini mencerminkan bahwa ketegangan antara idealisme perjuangan dan realitas politik kekuasaan tetap menjadi titik krusial dalam perjalanan partai besar seperti PDI-P, dan Megawati tampak memilih untuk meneguhkan kembali struktur hierarkis partai sebagai strategi bertahan menghadapi turbulensi politik yang akan datang.” (Diadaptasi dari salah satu sumber Kompasiana/Berita Manado terkait PDIP)
Analisis Ejaan dan Pilihan Kata
Secara umum, kutipan berita di atas menggunakan ejaan yang sudah baku, namun terdapat beberapa penulisan dan pilihan kata yang dapat diulas berdasarkan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) atau PUEBI.
- Pertama, penulisan nama partai besar tersebut sering ditemukan dengan tanda hubung (PDI-P). Meskipun secara formal penamaan partai adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dalam konteks akronim yang sudah umum, penulisan yang lebih ringkas dan sering digunakan dalam teks narasi adalah PDIP (tanpa tanda hubung).
- Kedua, kata krusial adalah kata serapan yang ejaannya sudah benar. Namun, bagi sebagian pembaca, kata ini mungkin terasa sangat formal. Padanan kata yang lebih sederhana dan lebih mudah dicerna adalah penting, genting, atau menentukan.
- Ketiga, penggunaan istilah turbulensi politik juga merupakan metafora yang akurat namun cukup spesifik. Walaupun ejaannya sudah benar, pemilihannya menunjukkan gaya penulisan yang cenderung akademik. Pilihan kata yang lebih populer untuk menggambarkan kondisi yang sama adalah gejolak politik atau guncangan politik.
Kesimpulan Analisis Ejaan: Kutipan berita ini menunjukkan pemakaian ejaan yang baku. Masalah yang timbul lebih terkait pada konsistensi penulisan akronim dan pilihan kata (diksi) yang cenderung formal, yang bisa disederhanakan agar pesan tentang kerasnya realitas politik lebih mudah diterima oleh khalayak luas.
Penutup
Dinamika antara idealisme dan realita kekuasaan akan selalu menjadi tantangan terbesar dalam dunia politik. Idealisme adalah jiwa politik yang menjaga tujuannya tetap mulia, sementara realita adalah tubuh yang memungkinkan politik untuk berfungsi dan beradaptasi.
Politisi yang dianggap “sejati” adalah mereka yang mampu menavigasi ketegangan ini; yang menjadikan idealisme sebagai jangkar moral namun cukup pragmatis untuk bernegosiasi dan berkompromi tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar secara total.
Bagi masyarakat, kesadaran akan dinamika ini penting agar dapat mengevaluasi pemimpin tidak hanya dari janji-janji ideal mereka, tetapi juga dari cara mereka menghadapi kerasnya realitas kekuasaan.
Oleh: Fauzun Adim Al-Faruq
Program Studi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon