OPINI  

Tantangan Demokrasi Ditengah Masyarakat yang Disinformasi

Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat berpartisipasi dalam kehidupan politik. Di berbagai belahan dunia, masyarakat kini memiliki akses yang luas terhadap informasi, dapat dengan mudah menyuarakan pendapat, serta berpartisipasi aktif melalui media sosial dan platform digital lainnya.

Kehadiran teknologi ini memperkuat prinsip demokrasi partisipatif, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik.

Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul tantangan baru yang justru mengancam kualitas demokrasi, yaitu meningkatnya penyebaran disinformasi dan hoaks. Informasi palsu yang beredar di dunia maya dapat dengan cepat membentuk opini publik yang salah, memecah belah masyarakat, bahkan mengganggu stabilitas politik.

Fenomena ini menjadikan demokrasi rentan terhadap manipulasi informasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik atau ekonomi.

Disinformasi Sebagai Ancaman Terhadap Demokrasi

Salah satu persoalan utama dalam menghadapi arus informasi di era digital adalah kecepatan penyebaran data yang tidak diimbangi dengan akurasi. Banyak informasi yang beredar tanpa melalui proses verifikasi, dan sering kali berita palsu justru menyebar lebih cepat dibandingkan fakta yang sebenarnya.

Hal ini membuat masyarakat sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang direkayasa. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap lembaga demokrasi seperti pemerintah, partai politik, dan media menjadi menurun.

Disinformasi juga sering digunakan sebagai alat politik untuk membentuk persepsi masyarakat terhadap kandidat, kebijakan, atau isu tertentu. Contohnya, menjelang pemilihan umum, banyak ditemukan kampanye hitam di media sosial yang berisi tuduhan palsu terhadap calon tertentu. Hal ini dapat memengaruhi pilihan masyarakat dan merusak prinsip keadilan dalam proses demokrasi.

Pentingnya Literasi Digital dalam Menangkal Disinformasi

Untuk mempertahankan stabilitas demokrasi, literasi digital memegang peranan yang sangat penting. Literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis dalam menilai kebenaran suatu informasi. Masyarakat perlu dilatih untuk memeriksa sumber berita, membandingkan informasi dari berbagai media, dan tidak langsung membagikan konten yang belum pasti kebenarannya.

Dengan meningkatnya literasi digital, masyarakat dapat menjadi pengguna media yang bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh berita palsu. Pendidikan formal maupun nonformal dapat menjadi sarana penting dalam membentuk budaya digital yang sehat. Sekolah dan perguruan tinggi bisa mengintegrasikan literasi media ke dalam kurikulum agar generasi muda terbiasa memverifikasi fakta sebelum menyebarkan informasi.

Fenomena Filter Bubble dan Polarisasi Politik

Selain disinformasi, era digital juga membawa tantangan lain yang dikenal sebagai filter bubble atau gelembung informasi. Algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan minat dan pandangan pengguna.

Akibatnya, masyarakat hanya terpapar pada informasi yang mendukung opini mereka sendiri dan jarang melihat sudut pandang yang berbeda. Situasi ini mempersempit wawasan, memperkuat fanatisme politik, serta meningkatkan polarisasi di masyarakat.

Ketika masyarakat terus-menerus mengonsumsi informasi yang sejalan dengan keyakinannya, ruang dialog terbuka menjadi semakin sempit. Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan pertukaran gagasan dan perdebatan yang rasional. Jika perbedaan pandangan justru menimbulkan permusuhan, maka esensi demokrasi yaitu saling menghargai dan mencari solusi bersama akan hilang

Pentingnya Literasi Digital dalam Menangkal Disinformasi

Untuk mempertahankan stabilitas demokrasi, literasi digital memegang peranan yang sangat penting. Literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis dalam menilai kebenaran suatu informasi. Masyarakat perlu dilatih untuk memeriksa sumber berita, membandingkan informasi dari berbagai media, dan tidak langsung membagikan konten yang belum pasti kebenarannya.

Dengan meningkatnya literasi digital, masyarakat dapat menjadi pengguna media yang bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh berita palsu. Pendidikan formal maupun nonformal dapat menjadi sarana penting dalam membentuk budaya digital yang sehat.

Sekolah dan perguruan tinggi bisa mengintegrasikan literasi media ke dalam kurikulum agar generasi muda terbiasa memverifikasi fakta sebelum menyebarkan informasi.

Peran Pemerintah dan Media dalam Menjaga Keseimbangan Informasi

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan ruang digital tetap aman dari penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Regulasi yang ketat diperlukan untuk mengontrol peredaran informasi palsu, namun tanpa membatasi kebebasan berpendapat warga negara.

Selain itu, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan platform digital seperti Facebook, X (Twitter), atau TikTok untuk memantau dan menghapus konten yang terbukti menyesatkan.

Media massa juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial dalam menjaga kepercayaan publik. Prinsip jurnalisme yang beretika, akurat, dan independen harus dijaga agar media tidak menjadi alat propaganda.

Jurnalis perlu melakukan verifikasi data, menghadirkan sudut pandang berimbang, serta menghindari judul sensasional yang hanya bertujuan untuk menarik perhatian tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap opini publik.

Peran Pendidikan dan Masyarakat Sipil

Lembaga pendidikan memiliki posisi strategis dalam membangun kesadaran kritis generasi muda terhadap bahaya disinformasi. Melalui pendidikan literasi media, siswa dapat memahami cara kerja algoritma, pola penyebaran informasi, serta tanggung jawab dalam menggunakan media sosial.

Selain itu, organisasi masyarakat sipil juga dapat berperan aktif dalam mengawasi praktik politik digital dan mendorong transparansi pemerintah maupun perusahaan teknologi.

Partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci dalam melawan disinformasi. Setiap individu memiliki peran untuk menolak, melaporkan, dan menghentikan penyebaran konten yang menyesatkan. Dengan keterlibatan semua pihak, ruang publik digital dapat menjadi wadah yang produktif dan sehat bagi demokrasi

Kesimpulan

Disinformasi merupakan ancaman nyata bagi keberlangsungan demokrasi di era digital. Penyebaran informasi palsu tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga menurunkan kepercayaan terhadap institusi demokrasi, memicu konflik sosial, dan memperkuat polarisasi politik.

Oleh karena itu, diperlukan kerja sama lintas sektor untuk menumbuhkan ekosistem digital yang sehat, transparan, dan bertanggung jawab. Dengan meningkatkan literasi digital, memperkuat regulasi, serta menjaga integritas media, masyarakat dapat membangun budaya bermedia yang cerdas.

Hanya dengan masyarakat yang kritis dan informasi yang akurat, demokrasi dapat bertahan dan berkembang di tengah arus deras disinformasi global.

Oleh: Laila Ginatuzahroh
Prodi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon