Polarisasi Calon Presiden

Polarisasi Calon Presiden

Indramayuinfo.com – Politik identitas beberapa tahun terakhir sedang berkembang di banyak negara. Sederhananya politik identitas menciptakan perasaan persatuan RAS, Agama, dan Suku.

Persamaan ini dijadikan alat politik untuk menyerang yang berbeda dengan kelompoknya. Iniloh dagangan politik yang banyak digunakan oleh politisi dunia untuk memperoleh kekuasaan.

Misalnya, Rodrigo Duterte di Filipina, Narendra Modi di India, Donal Trump di Amerika, dan Racep Tayyip Erdogan di Turki.

Baca Juga:

Dalam studi politik identitas memiliki kaitan dengan populisme. Keduanya sama-sama manfaatin Rakyat atau kelompok untuk menyerang pemerintahan yang sedang berkuasa, ataupun kelompok oposisi yang sedang melakukan kritik.

Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu lagi-lagi soal kekuasaan. Nah, hal inilah yang kita saksikan di Indonesia. Pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, pendukung nomor 01 dan pendukung nomor 02 sama-sama menggunakan retorika pecah belah untuk merebut hati rakyat.

Namun, dari retorika tersebut, kedua pasangan calon mengajak rakyat untuk terbelah menjadi dua. Nomor 02 dekat dengan golongan Islam Politik, sedangkan nomor 01 ke kelompok yang tidak ingin kelompok 02 terpilih.

Kedua kubu saling tuding dengan membawa narasi siapa yang paling Indonesia dan paling religius. Rakyatpun terlibat dalam wacana populisme dua calon Presiden ini.

Dengan narasi yang berkembang dari kedua pendukung, Kita Vs Mereka, Us Vs Them. Tidak hanya sebagai pesaing politik, akan tetapi sebagai pihak luar yang tidak boleh di akui. Kedua kubu saling klaim sebagai pihak yang paling layak diikuti.

Dagangannya untuk legitimasi ya ngeri-ngeri sedap! yaitu agama dan dasar negara. Bisa jadi ada beberapa oknum yang mengendarai keberagaman ini. Maka dari itu, sudah sewajarnya kita harus memikirkan ulang lagi untuk pemilu 2024. Atau, calon-calon yang terkait dengan politik identitas di masa lalu.

Jika kita biarkan hal ini akan terulang kembali dimasa depan. Sehingga hal ini merusak hubungan sosial masyarakat. yang ikut mendukung calon Presiden pilihan mereka. Meskipun ada yang menyatakan pembelahan sosial telah selesai setelah Prabowo-Sandi bergabung sebagai Menteri Jokowi, tentunya hal ini tidak semudah itu.

Cebong dan Kampret tidak akan pernah bersatu. Cebong akan tetap membenci Kampret dan Kampret tidak akan pernah menyukai Cebong. Karena pembelahan sosial ini telah membunuh rasionalitas kita begitu lama.

Apakah di 2024 kita masih mau tonjok-tonjokan calon siapa yang lebih baik, pilihan kita paling benar dan calon lain sangat salah? Kayaknya enggak deh! Sebaiknya kita cari figur-figur baru yang gak menyebabkan masyarakat terpolarisasi lagi.

Mari kita cari pemimpin yang terbebas dengan beban polarisasi.