Jakarta, sebagai ibu kota negara, memiliki peran yang sangat vital dalam perekonomian dan kehidupan sosial Indonesia. Namun, setiap tahun kita dihadapkan pada bencana yang hampir tidak pernah absen: banjir. Banjir di Jakarta telah menjadi isu yang terus berulang, terutama saat musim hujan tiba. Meskipun banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, penyelesaian yang tuntas masih jauh dari harapan. Sebagai mahasiswa yang lahir dan besar di kota ini, saya merasa perlu untuk merenungkan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan.
Penyebab Banjir di Jakarta: Lebih dari Sekadar Hujan Lebat
Banjir di Jakarta disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait, dan bukan hanya karena curah hujan yang tinggi. Meskipun curah hujan memang menjadi salah satu faktor utama, penyebabnya jauh lebih kompleks dan mencakup faktor alam dan manusia.
Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta pada 2020 tercatat mengalami curah hujan rata-rata lebih dari 3.000 mm per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional yang hanya sekitar 2.000 mm per tahun. Curah hujan yang tinggi tentu menjadi faktor pemicu utama terjadinya banjir. Namun, jika hanya bergantung pada faktor alam, kita akan terus terjebak dalam pola yang sama setiap tahun.
Penyebab utama lainnya adalah penurunan daya resap air di Jakarta. Dalam laporan Bappeda DKI Jakarta 2019, sekitar 70% dari luas kota ini telah berubah menjadi kawasan permukiman dan komersial. Pembangunan yang tidak terkendali ini menyebabkan banyaknya lahan yang sebelumnya digunakan sebagai resapan air kini tertutup beton. Akibatnya, air hujan tidak bisa lagi terserap ke dalam tanah dan terpaksa mengalir ke saluran drainase yang seringkali sudah tidak mampu menampung volume air yang semakin besar.
Sistem Drainase yang Tidak Mampu Menampung
Sistem drainase Jakarta juga menjadi masalah besar dalam penanggulangan banjir. Banyak saluran drainase yang sudah sangat tua dan sempit, serta terhambat oleh sampah. Data dari Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta menyebutkan bahwa lebih dari 60% saluran drainase di Jakarta telah rusak dan tidak berfungsi dengan baik. Pada saat musim hujan, drainase yang tidak berfungsi optimal ini tidak mampu menampung air dengan cepat, sehingga genangan air pun terjadi di banyak titik kota.
Sampah yang menumpuk di saluran drainase juga memperburuk situasi. Menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sekitar 30% sampah yang dibuang ke saluran drainase adalah sampah plastik yang tidak dapat terurai. Sampah-sampah ini menghambat aliran air dan memperparah banjir. Dalam banyak kasus, banjir yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh hujan lebat, tetapi juga oleh sampah yang menghalangi saluran air.
Dampak Sosial dan Ekonomi yang Masif
Banjir di Jakarta tidak hanya merusak infrastruktur fisik, tetapi juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang sangat besar. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir pada Januari 2020 menyebabkan lebih dari 200.000 orang mengungsi dan lebih dari 100.000 rumah terendam. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan mencapai lebih dari Rp 7 triliun.
Selain itu, banjir juga semakin memperburuk kesenjangan sosial di Jakarta. Wilayah yang paling terdampak oleh banjir adalah kawasan-kawasan dengan kepadatan penduduk tinggi, terutama di wilayah pinggiran kota dan bantaran sungai. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di kawasan ini adalah kelompok yang kurang mampu dan tidak memiliki akses terhadap perlindungan atau pemulihan yang layak. Sementara itu, kawasan-kawasan elit di pusat kota relatif lebih aman dari ancaman banjir dan memiliki infrastruktur yang lebih baik.
Solusi yang Diperlukan: Kerja Sama untuk Jakarta yang Lebih Baik
Masalah banjir di Jakarta bukanlah masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan upaya darurat seperti pembuatan tanggul atau pengerukan sungai. Solusi yang lebih sistematis dan berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi akar penyebab banjir. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
- Perbaikan Infrastruktur Drainase: Salah satu langkah utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki dan merevitalisasi sistem drainase Jakarta. Pemerintah perlu memperhatikan drainase di wilayah-wilayah yang rawan banjir dan memperbaiki saluran air yang sudah rusak. Upaya ini harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan masyarakat dalam menjaga kebersihan saluran drainase.
- Pengelolaan Sampah yang Lebih Baik: Sampah yang menumpuk di saluran drainase harus menjadi perhatian serius. Kampanye pengelolaan sampah yang lebih masif, dengan fokus pada pengurangan sampah plastik, perlu dilakukan secara berkelanjutan. Pemerintah harus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya dan mendaur ulang sampah.
- Peningkatan Ruang Terbuka Hijau dan Resapan Air: Pemerintah perlu memperhatikan pentingnya ruang terbuka hijau untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan meningkatkan daya serap air. Program seperti “Jakarta Green and Clean” perlu diperluas dan ditingkatkan. Selain itu, kebijakan alih fungsi lahan harus mempertimbangkan faktor lingkungan agar pembangunan tidak merusak daya resap air.
- Kebijakan Pembangunan yang Berkelanjutan: Pembangunan Jakarta harus mempertimbangkan kapasitas infrastruktur dan daya tampung lingkungan. Pengawasan terhadap pembangunan gedung tinggi dan permukiman harus lebih ketat, terutama dalam hal pengelolaan air hujan dan pengurangan resapan air.
Sebagai mahasiswa yang peduli terhadap keberlanjutan kota ini, saya berharap bahwa kita tidak hanya melihat banjir sebagai sebuah bencana yang datang dan pergi, tetapi sebagai masalah yang membutuhkan perhatian serius dan solusi jangka panjang. Jakarta perlu berubah menjadi kota yang lebih ramah lingkungan, dengan kebijakan yang berbasis pada data dan riset ilmiah.
Jika semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga sektor swasta, bekerja bersama, saya yakin Jakarta dapat keluar dari siklus bencana banjir yang terus mengganggu kehidupan warga kota. Solusi yang berkelanjutan dan berbasis pada kepentingan jangka panjang adalah kunci untuk mengatasi masalah ini.